Jumat, 19 Agustus 2011

Subyek Hukum Perdata


Pengertian hukum pribadi secara luas dapat dibagi 2, yaitu hukum perorangan dan hukum kekeluargaan. Hukum perorangan adalah keseluruhan kaedah hukum yang mengatur kedudukan sebagai subyek hukum dan wewenang untuk memperoleh, memiliki, dan mempergunakan hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum serta kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya, juga mempengaruhi kedudukan subyek hukum. Sedangkan hukum kekeluargaan ialah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan. Sedangkan secara sempit, hukum pribadi merupakan hukum yang mengatur orang sebagai subyek hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum pribadi merupakan kaedah hukum yang mengatur kedudukan hukum (status seseorang) berkaitan dengan wewenang hukum dan kecakapan bertindak dalam lalu lintas hukum.
A.    Subyek hukum pribadi menurut hukum adat dan hukum perdata barat
Hukum perorangan/pribadi (personenrecht) dalam arti luas adalah ketentuan-ketentuan mengenai orang sebagai subyek hukum dan kekeluargaan. Dalam arti sempit hukum pribadi memiliki makna yaitu ketentuan-ketentuan orang sebagai subjek hukum saja. Menurut hukum bahwa setiap manusia itu merupakan orang, yang berarti pembawa hak yaitu segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban (pendukung hak dan kewajiban) dan disebut subjek hukum. Apabila dikatakan bahwa setiap manusia merupakan orang, maka berarti:
1.      Bahwa tidak dikenal perbedaan berdasarkan agama, baik manusia itu beragama Islam, Kristen maupun agama lain, mereka semua merupakan orang.
2.      Bahwa antara kelamin yang satu dengan yang lainnya, tidak diadakan pembedaan, jadi baik wanita maupun pria merupakan orang.
3.      Bahwa tidak diadakan pembedaan antara orang kaya dan miskin, semua dinggap sebagai orang.
4.      Bahwa tidak dibedakan apakah manusia itu warga negara atau orang asing, jadi kalau semua hukum perdata barat ini berlaku bagi orang asing, maka ia dinggap orang.
Sebelumnya di dalam Buku I BW disebut subjek hukum hanya orang (pribadi kodrati) tidak termasuk badan hukum, namun selanjutnya dalam perkembangan selanjutnya, badan hukum telah dimasukan sebagai subjek hukum yang disebut dengan Pribadi Hukum. Badan Hukum tidak tercantum di dalam Buku I BW karena orang mempelajari masalah badan hukum, setelah kodifikasi BW dibuat dengan demikian badan hukum dapat dimasukkan ke dalam golongan subjek hukum, dengan demikian subjek hukum terdiri dari :
1.      Orang /Pribadi Kodrati (natuurlijke persoon)
2.      Badan Hukum/Pribadi Hukum (rechs tpersoon)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subyek hukum yaitu setiap penyandang/pendukung hak dan kewajiban, artinya undang-undang memberi wewenang untuk memiliki, memperoleh dan menggunakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban didalam lalu lintas hukum. Sedangkan menurut Algra, subjek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban, jadi mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid).
1.      Orang /Pribadi Kodrati (natuurlijke persoon)
Orang sebagai subjek hukum adalah mulai sejak dilahirkan hidup sampai meninggal dunia, terdapat perluasan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 2 KUHPerdata yang menyatakan “bayi” yang berada dalam kandungan ibunya dianggap telah dilahirkan hidup, jika ada kepentingan si anak (bayi) yang menghendakinya. Namun apabila mati sewaktu dilahirkan dianggap tidak pernah ada (pengertian subjek hukum diperluas). Sedangkan Chaidir Ali, mengartikan manusia adalah mahkluk yang berwujud dan rohani, yang berfikir dan berasa, yang berbuat dan menilai, berpengetahuan dan berwatak, sehingga menempatkan dirinya berbeda dengan makhluk lainnya. Pasal 2 KUHPerdata tersebut berlaku apabila memenuhi syarat-syarat:
a.       Si anak dibenihkan pada saat adanya kepentingan si anak timbul.
b.      Si anak harus hidup pada saat dilahirkan, arti hidup bahwa anak itu bernafas.
c.       Adanya kepentingan si anak yang menhendaki bahwa anak itu dianggap telah lahir.
Tujuan ketentuan tersebut oleh pembuat undang-undang adalah melindungi kepentingan masa depan si anak yang masih didalam kandungan ibunya, dimana pada suatu waktu ada kepentingan anak yang timbul dan kemudian anak itu dilahirkan hidup.
2.      Badan Hukum/Pribadi Hukum (rechtpersoon)
yaitu orang dalam bentuk badan hukum/merupakan pribadi ciptaan hukum. Adanya Pribadi Hukum tersebut, setidak-tidaknya dapat dikembalikan pada sebab-sebab sebagai berikut:
                                            i.            Adanya suatu kebutuhan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu atas dasar kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama.
                                          ii.            Adanya tujuan-tujuan ideal yang perlu dicapai tanpa senantiasa tergantung pada pribadi-pribadi kodrati secara perorangan.
Sedangkan badan hukum dibedakan pula dalam 2 (dua) macam yaitu:
                                              i.            Badan hukum Publik yang sifatnya terlihat unsur kepentingan public yang ditangani oleh Negara.
                                            ii.            Badan hukum Privat yang sifatnya unsur-unsur kepentingan individual dalam badan swasta.
Subyek hukum dalam hukum Adat: manusia dan badan hukum (badan hukum yang ada antara lain desa, suku nagari, wakaf, yayasan, dll)
B.     Kedudukan orang (pribadi) di dalam hukum
C.    Kriteria dewasa menurut hukum adat dan hukum perdata barat
Kriteria dewasa menurut hukum adat dari beberapa ahli:                              
1.      Ter Haar: seseorang yang telah tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tua.
2.      Prof. Djoyodiguno: kedewasaan datang secara berangsur. Dewasa penuh jika sudah ‘mentas’ dan ‘mencar’ (hidup mandiri dan berkeluarga sendiri)
3.      Prof. Soepomo, dianggap dewasa apabila,
a.       Kuwat gawe’ (dapat/mampu bekerja sendiri).
b.      Cakap mengurus harta benda serta keperluannya sendiri
c.       Bertanggung jawab atas    segala perbuatannya.
Sedangkan criteria dewasa menurut hukum perdata barat ada beberapa macam, yaitu:
1.      KUHPerdata, dianggap dewasa apabila telah berusia 21 tahun atau sudah menikah (Pasal 330 (1))
2.      UU No. 1/1974 Pasal 47 & 50, yaitu bagi anak yang sudah berumur 18 tahun atau lebih dan sudah tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.
Selain itu ada juga handlichting atau pendewasaan, yaitu suatu lembaga hukum agar semua orang yang belum dewasa tetapi telah menempuh syarat-syarat tertentu dalam hal tertentu dan sampai batas-batas tertentu menurut ketentuan undang-undang dapat memiliki kedudukan hukum yang sama dengan orang dewasa. Handlichting ada 2 macam, yaitu:
1.      Pendewasaan penuh (pasal 421)
Harus mempunyai venia aetatis (surat pernyataan sudah cukup umur) dengan umur minimal 20 tahun dan mengajukan permohonan kepada presiden RI
2.      Pendewasaan terbatas (pasal 426-431)
Syaratnya minimal berusia 18 tahun dan orang tuanya (wali) tidak keberatan. Kemudian diajukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Pendewasaan terbatas dapat ditarik kembali, misalkan untuk membuat surat wasiat.
D.    Kecakapan bertindak sebagai subyek hukum pribadi
Cakap hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan hukum (kecakapan bertindak) meliputi  orang-orang baik pria maupun wanita yang sudah dewasa. Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi) Jakarta dalam keputusannya tertanggal 16 Oktober 1908 menetapkan khusus bagi kaum wanita untuk dapat dianggap “cakap menyatakan kehendaknya sendiri” sebagai berikut :
            1.  Umur 15 tahun
            2.  Masak untuk hidup sebagai isteri
            3.  Cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatan sendiri
Keputusan Raad van Justitie tersebut di atas menunjukkan adanya pemakaian dua macam kriteria yang tergabung menjadi satu, yakni kriteria barat yaitu umur dan kriteria adat yaitu kenyataan ciri-ciri tertentu.
Walaupun setiap orang adalah subjek hukum namun tidaklah setiap orang dapat melakukan perbuatan hukum/tidak cakap hukum. Menurut pasal 1330 BW ada beberapa golongan orang yang oleh hukum dianggap tidak cakap dalam arti hukum, yakni:
1.      Orang-orang belum dewasa (dibawah umur).
2.      Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele)
E.     Kewenangan berhak dan bertindak menurut hukum
Menurut B. Ter Haar Bzn, seseorang dikatakan telah cakap melakukan sikap tindak hukum apabila ia telah dewasa. Dewasa, artinya keadaan berhenti sebagai anak yang tergantung kepada orang tua. Juga sudah memisahkan diri dari orang tua dan mempunyai rumah sendiri, termasuk dalam penggantian dewasa. Sedangkan menurut Soepomo, seseorang dianggap dewasa, bila orang tersebut sudah mampu bekerja secara mandiri, cakap mengurus harta benda dan kepentingan-kepentingannya sendiri, cakap melakukan pergaulan hidup kemasyarakatan, Serta termasuk didalamnya mampu mempertanggungjawabkan setiap tindakannya.
Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, seseorang dikatakan belum cakap dalam bertindak menurut hukum apabila ia:
1.      Belum dewasa
2.      Wanita bersuami
Dengan adanya pasal 31 (2) UU No. 1/1974 maka dianggap cakap; keseimbangan kedudukan laki-laki dan perempuan serta masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Kecuali, perbuatan hukum yang berkaitan dengan penggunaan dan pengalihannya harus mendapat persetujuan kedua belah pihak.
3.      Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.
Pengampuan adalah orang dewasa yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Menurut pasal 433 KUHPerdata, orang yang berhak meminta pengampuan yaitu:
a.       Imbisil (tolol, dungu, bodoh)
b.      Lemah daya/lemah pikir
c.       Sakit otak/sakit ingatan atau mata gelap
d.      Pemboros (masih dapat membuat testament melalui perkawinan dan pembuat janji kawin)

DAFTAR PUSTAKA


http://repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/1636.pdf
http://www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aspek_hukum_dalam_bisnis/bab2-hukum_perdata.pdf
http://suflasaint.blogspot.com/2010/09/hukum-perorangan-personenrecht.html
http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=4&ved=0CCcQFjAD&url=http%3A%2F%2Fperumtel.files.wordpress.com%2F2010%2F10%2F7-hukum-perorangan.ppt&ei=UAlnTZC8OoLlrAeTg-DaCg&usg=AFQjCNEWBjnz_w65-xcdpm6Fm2wXWijKpw
http://irdanuraprida.blogspot.com/2009/09/subjek-hukum-menurut-hukum-adat.html?zx=d916b83e80597f97

Sabtu, 26 Februari 2011

Modal Kerja

Setiap perusahaan membutuhkan modal kerja untuk membelanjai operasi sehari-harinya, misalkan untuk membayar gaji pegawai, dimana dana atau uang yang telah dikeluarkan itu diharapkan akan dapat kembali lagi masuk dalam perusahaan dalam jangka waktu yang pendek melalui hasil penjualan produknya. Uang yang masuk yang berasal dari penjualan produk tersebut akan segera dikeluarkan lagi untuk membiayai operasi selanjutnya. Dengan demikian, uang atau dana tersebut akan terus-menerus berputar setiap periodenya selama hidup perusahaan.
Pengertian Modal Kerja
Untuk mendapatkan gambaran mengenai pengertian dari modal kerja disini dikemukakan beberapa pendapat:
1.    James C Van Harne (1997:214), “Modal kerja bersih adalah aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar, dan modal kerja kotor adalah investasi perusahaan dalam aktiva lancar seperti kas, piutang dan persediaan”
2.    Droms (1991:131), The term working capital generally refers to a firm's investment in current asset over current liabilities. Net working capital refers to the excess of current assets over current liabilities and can be thought of as the circulating capital of a business firm. Effective control of this circulating capital is one of the most important Junctions of financial management.”
3.    J. Fred Weston Eugene F. Brigham (1991:157), “Modal kerja adalah investasi perusahaan dalam harta jangka pendek yaitu kas, surat berharga jangka pendek, piutang dan persediaan”.
Jadi modal kerja merupakan investasi perusahaan dalam bentuk uang tunai, kas, surat berharga, piutang dan persediaan yang dapat digunakan untuk membiayai aktiva lancar.
4.    Wasis (1991, p.63), “Modal kerja adalah dana yang ditanamkan dalam aktiva lancar, oleh karena itu dapat berupa kas, piutang, surat-surat berharga, persediaan dan lain-lain. Modal kerja bruto adalah keseluruhan dari aktiva/harta lancar yang terdapat dalam sisi debet neraca. Modal kerja netto adalah keseluruhan harta lancar dikurangi utang lancar. Dengan perkataan lain modal kerja netto adalah selisih antara aktiva lancar dikurangi dengan hutang lancar.”
5.    Indriyo Gitosudarmo dan Basri (1994: 33), “Modal kerja merupakan kekayaan atau aktiva yang diperlukan oleh perusahaan untuk menyelenggarakan kegiatan sehari-hari yang selalu berputar-putar selama hidup perusahaan.”
Jadi modal kerja merupakan investasi perusahaan dalam harta jangka pendek yang digunakan untuk kepentingan sehari-hari dan selalu berputar selama hidup perusahaan.
6.    Sarwoko dan Abdul Halim (1987: 79), “Modal kerja adalah aktiva-aktiva jangka pendek yang digunakan untuk kepentingan sehari-hari.”
Jadi modal kerja merupakan aktiva yang dimiliki perusahaan untuk menjalankan operasi perusahaan sehari-hari.
Beberapa konsep mengenai pengertian modal kerja menurut Bambang Riyanto (1997: 57).
1.    Konsep kuantitatif
Konsep ini menitikberatkan pada kuantitas dana yang tertanam dalam unsur-unsur aktiva lancar, aktiva ini merupakan aktiva sekali berputar kembali dalam bentuk semula atau dana yang tertanam dalam aktiva akan dapat bebas lagi dalam jangka pendek. Jadi menurut konsep ini adalah keseluruhan jumlah aktiva lancar. Dalam pengertian ini modal kerja sering disebut modal kerja bruto atau gross working capital.
2.    Konsep kualitatif
Pada pengertian ini konsep modal kerja dikaitkan dengan besarnya jumlah hutang lancar atau hutang yang segera harus dibayar. Jadi modal kerja menurut konsep ini adalah sebagian aktiva lancar yang benar-benar dapat digunakan untuk membiayai operasi perusahaan tanpa mengganggu likuiditasnya, yaitu yang merupakan kelebihan aktiva lancar diatas hutang lancarnya.
3.    Konsep fungsional
Konsep ini menitik beratkan pada fungsi dana dalam menghasilkan pendapatan. Setiap dana yang digunakan dalam perusahaan adalah dimaksudkan untuk menghasilkan pendapatan. Aktiva lancar sebagian merupakan unsur modal kerja, walaupun tidak seluruhnya.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa modal kerja adalah harta yang dimiliki perusahaan yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha atau membiayai operasional perusahaan tanpa mengorbankan aktiva yang lain dengan tujuan memperoleh laba yang optimal.
Klasifikasi Modal Kerja
Menurut Bambang Rianto (2001: 61) mengutip dari W.B. Taylor, modal kerja digolongkan dalam beberapa jenis yaitu:
1.    Modal Kerja Permanen (Permanent Working Capital)
Yaitu modal kerja yang harus tetap ada pada perusahaan untuk dapat menjalankan fungsinya atau dengan kata lain modal kerja yang secara terus menerus diperlukan untuk kelancaran usaha. Modal kerja permanen dapat dibedakan kedalam:
a.    Modal kerja primer (Primary Working Capital), jumlah modal kerja minimum yang harus ada pada perusahaan untuk menjaga kontinuitas usahanya.
b.    Modal kerja normal (Normal Working Capital), jumlah modal kerja yang diperlukan untuk menyelenggarakan proses produksi yang normal. Pengertian “normal” di sini adalah dalam artian yang dinamis.
2.    Modal Kerja Variabel (Variable Working Capital)
Yaitu modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan perubahan keadaan. Modal kerja ini dibagi menjadi:
a.    Modal kerja musiman (Seasonal Working Capital), modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah disebabkan karena fluktuasi musim.
b.    Modal kerja siklis (Cyclical Working Capital), modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah disebabkan karena fluktuasi konjungtur.
c.    Modal kerja darurat (Emergency Working Capital), modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah karena keadaan darurat yang tidak diketahui sebelumnya. Misalnya ada pemogokan buruh, banjir, perubahan keadaan ekonomi yang mendadak.
Faktor yang Mempengaruhi Modal Kerja
Menurut Hampton (1989: 180) perusahaan membutuhkan modal kerja ditentukan oleh 4 faktor:
1.    Volume Penjualan
Perusahaan membutuhkan modal kerja untuk mendukung kegiatan operasional pada saat terjadi peningkatan penjualan.
2.    Faktor Musim dan Siklus
Fluktuasi dalam penjualan yang disebabkan oleh faktor musim dan siklus akan mempengaruhi kebutuhan akan modal kerja.
3.    Perubahan dalam Teknologi
Jika terjadi pengembangan teknologi maka akan berhubungan dengan proses produksi dan akan membawa dampak terhadap kebutuhan akan modal kerja
4.    Kebijakan Perusahaan
Kebijakan yang diterapkan oleh perusahaan juga akan membawa dampak terhadap kebutuhan modal kerja.
Menurut Agnes Sawir (2005: 136), besarnya modal kerja dipengaruhi oleh faktor umum dan faktor khusus yaitu:
1.    Faktor umum
a.    Volume penjualan
b.    Faktor musiman
c.    Perkembangan teknologi
d.   Filosofi perusahaan
2.    Faktor khusus Ukuran perusahaan dan aktivitas perusahaan
a.    Ketersediaan kredit
b.    Perilaku menghadapi keuntungan
c.    Perilaku menghadapi resiko
Perusahaan membiayai modal kerja biasanya untuk mendukung penjualan. Banyak perusahaan yang menetapkan aktiva lancar sesuai dengan proporsi penjualan tahunannya. Fluktuasi musiman akan permintaan untuk produk atau jasa perusahaan merupakan faktor penentu besarnya modal kerja. Adanya tren produk tertentu pada waktu tertentu menyebabkan permintaan akan barang atau jasa meningkat sehingga diperlukan modal kerja yang tinggi. Perubahan teknologi yang tentu saja berdampak pada proses produksi dapat mempunyai pengaruh kuat pada kebutuhan terhadap modal kerja. Pada proses produksi konvensional yang biasanya dikerjakan oleh tenaga manusia kemudian digantikan oleh mesin dapat mengurangi pengeluaran terhadap pekerja yang akhirnya akan mengurangi kebutuhan modal kerja. Kebijakan perusahaan akan berdampak pada tingkat modal kerja permanen maupun musiman, misalnya ada kebijakan penghematan yang ditekankan oleh manajemen baru.
Perusahaan besar mempunyai perbedaan modal kerja yang mencolok dibandingkan dengan perusahaan kecil. Perusahaan besar dengan banyak sumber dana mungkin membutuhkan modal kerja yang lebih kecil disbanding dengan total aktiva atau penjualan. Aktivitas perusahaan berarti keadaan bisnis, misalnya sebuah perusahaan yang menawarkan jasa tidak akan memberikan piutang sehingga modal kerja yang diperlukan semakin kecil. Ketersediaan kredit, jika perusahaan dapat meminjam untuk membiayai dengan kredit maka diperlukan kas yang lebih sedikit. Perilaku akan keuntungan berarti menambah jumlah produksi dan juga akan menambah total aktiva lancar. Jumlah yang besar pada aktiva lancar akan mengurangi keuntungan keseluruhan, makin besar tingkat aktiva lancar semakin kecil resiko.
Sumber dan Penggunaan Modal Kerja         
Sumber (kenaikan) dan penggunaan (penurunan) modal kerja dilakukan untuk mengetahui bagaimana modal kerja tersebut digunakan dan dibelanjakan oleh perusahaan. Sumber-sumber modal kerja menurut Munawir (2002: 120) adalah sebagai berikut:
1.    Hasil operasi perusahaan, yaitu jumlah laba bersih yang nampak dalam laporan rugi-laba ditambah dengan depresiasi dan amortisasi, jumlah ini menunjukkan jumlah modal kerja yang berasal dari hasil operasi perusahaan. Dengan adanya keuntungan atau laba dari perusahaan, dan apabila laba tersebut tidak diambil oleh pemilik perusahaan, maka laba tersebut akan menambah modal perusahaan yang bersangkutan.
2.    Keuntungan dari penjualan surat-surat berharga. Dengan adanya penjualan surat berharga ini menyebabkan terjadinya perubahan dalam unsur modal kerja yaitu dari bentuk surat berharga berubah menjadi uang kas. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan surat berharga ini merupakan suatu sumber untuk bertambahnya modal kerja.
3.    Penjualan aktiva tidak lancar. Modal kerja dapat bertambah dari hasil penjualan aktiva tetap, investasi jangka panjang, dan aktiva tidak lancar lainnya yang tidak diperlukan lagi oleh perusahaan. Perubahan dari aktiva ini menjadi kas atau piutang akan menyebabkan bertambahnya modal kerja sebesar hasil penjualan tersebut.
4.    Penjualan saham atau obligasi. Untuk menambah dana atau modal kerja yang dibutuhkan perusahaan dapat pula mengadakan emisi saham baru atau meminta kepada para pemilik perusahaan untuk modalnya, di samping itu perusahaan dapat pula mengeluarkan obligasi atau bentuk hutang jangka panjang lainnnya guna memenuhi modal kerjanya.
Sumber-sumber modal kerja menurut Bambang Riyanto (2001: 353) adalah sebagai berikut:
1.    Berkurangnya aktiva tetap
2.    Bertambahnya utang jangka panjang
3.    Bertambahnya modal      
4.    Adanya keuntungan dari operasinya perusahaan
Sumber-sumber modal kerja yang normal menurut Amin Widjaja Tunggal (1995: 104) adalah sebagai berikut:
1.    Operasi rutin perusahaan
2.    Laba yang diperoleh dari penjualan surat-surat berharga dan penanaman sementara lainnya
3.    Penjualan aktiva tetap, penanaman jangka panjang/aktiva tak lancar dan lain-lain
4.    Pengembalian pajak dan keuntungan luar biasa lain
5.    Penerimaan yang diperoleh dari penjualan obligasi dan saham dan penyetoran dana oleh para pemilik perusahaan
6.    Pinjaman jangka pendek dan jangka panjang dari bank dan pihak lain
7.    Pinjaman yang dijamin dengan hipotek: atas aktiva tetap atau aktiva lancar
8.    Penjualan piutang dengan cara penjualan biasa atau dengan “factoring” (penjualan dengan cara penjualan faktur, pemberian kredit, diserahkan pada lembaga keuangan)
9.    Kredit perdagangan
Dari uraian tentang sumber-sumber modal kerja tersebut maka Munawir (2002: 123) menyimpulkan bahwa modal kerja akan bertambah apabila:
1.    Adanya kenaikan sector modal baik yang berasal dari laba maupun adanya pengeluaran modal saham atau tambahan investasi dari pemilik perusahaan.
2.    Adanya pengurangan atau penurunan aktiva tetap yang diimbangi dengan bertambahnya aktiva lancar karena adanya penjualan aktiva tetap maupun melalui proses depresiasi.
3.    Ada penambahan hutang jangka panjang baik dalam bentuk obligasi, hipotek atau hutang jangka panjang lainnya yang diimbangi dengan bertambahnya aktiva lancar.
Penggunaan modal kerja menurut Bambang Riyanto (2001: 353) sebagai berikut:
1.    Bertambahnya aktiva tetap
2.    Berkurangnya utang jangka panjang
3.    Berkurangnya modal
4.    Pembayaran cash dividend        
5.    Adanya kerugian dalam operasinya perusahaan
Menurut Munawir (2002: 125) penggunaan-penggunaan aktiva lancar yang mengakibatkan turunnya modal kerja adalah sebagai berikut:

1.    Pembayaran biaya atau ongkos-ongkos operasi perusahaan, meliputi pembayaran upah, gaji, pembelian bahan atau barang dagangan, supplies kantor dan pembayaran biaya-biaya lainnya.
2.    Kerugian-kerugian yang diderita oleh perusahaan karena adanya penjualan surat berharga atau effek, maupun kerugian yang insidentil lainnya.
3.    Adanya pembentukan dana atau pemisahan aktiva lancar untuk tujuan-tujuan tertentu dalam jangka panjang.
4.    Adanya penambahan atau pembelian aktiva tetap, investasi jangka panjang atau aktiva tidak lancar lainnya yang mengakibatkan berkurangnya aktiva lancar atau timbulnya hutang lancar yang berakibat berkurangnya modal kerja.
5.    Pembayaran hutang-hutang jangka panjang yang meliputi hutang hipotik, hutang obligasi maupun bentuk hutang jangka panjang lainnya.
6.    Pengambilan uang atau barang dagangan oleh pemilik perusahaan untuk kepentingan pribadinya (prive) atau adanya pengambilan bagian keuntungan oleh pemilik dalam perusahaan perseorangan dan persekutuan atau adanya pembayaran deviden dalam perseroan terbatas.
Penggunaan modal kerja yang terpenting adalah:
1.    Penggunaan modal kerja yang menyebabkan pengurangan aktiva lancar 
a.    Pembayaran biaya rutin dan utang termasuk utang berupa deviden.
b.    Pengambilan laba dalam perusahaan perorangan dan persekutuan oleh pemilik perusahaan.
c.    Kerugian operasi atau kerugian luar biasa yang memerlukan penggunaan.
d.   Pembayaran kembali utang jangka panjang atau bagian dari modal saham
e.    Pembentukan dana untuk tujuan seperti; pembayaran dana pensiun karyawan, pelunasan pinjaman obligasi, mengganti aktiva tak lancar yang pada waktunya harus diganti.
2.    Transaksi yang menyebabkan perubahan dalam bentuk aktiva lancar
a.    Pembelian surat-surat berharga dengan uang.
b.    Pembelian barang dagangan dengan uang.     
c.    Penukaran piutang yang satu ke dalam bentuk yang lain

Minggu, 02 Januari 2011

Penyusutan Arsip

  1. Pengertian
    1. Penyusutan arsip adalah kegiatan mengurangi volume arsip dengan cara memindahkan, menyerahkan, dan memusnahkan.
    2. Nilai guna arsip adalah nilai arsip berdasarkan kegunaannya bagi kepentingan pengguna arsip.
    3. Retensi arsip adalah penentuan jangka waktu simpan suatu arsip, berdasarkan kepada nilai guna yang terkandung di dalamnya.
    4. Jadwal Retensi Arsip adalah suatu daftar yang berisi sekurang-kurangnya ada jenis arsip. Jangka waktu penyimpanan, dan keterangn simpan. Keterangan simpan maksudnya apakah arsip tersebut arsip permanen, dapat dimusnahkan atau akan dinilai kembali.
  2. Ruang Lingkup Pemusnahan Arsip
    1. Penyusutan arsip dilihat dari aktivitas pelaksanaannya, antara lain:
      1. Memindahkan arsip inaktif dari unit pengelola ke unit kearsipan di lingkungan suatu instansi/lembaga/kantor/organisasi.
      2. Penyerahan arsip

        Tata cara penyerahan arsip dilaksanakan sebagai berikut:

        1. Arsip-arsip inaktif dari unit kearsipan instansi/lembaga/kantor/organisasi diserahkan pada kantor arsip daerah sesuai dengan fungsi kantor arsip daerah, yaitu menyimpan dan menata arsip yang retensinya 10 tahun atau lebih, arsip permanen, dan arsip yang akan/perlu dinilai kembali statusnya.
        2. Penyerahan arsip statis dari kantor arsip daerah kepada kantor arsip nasional Republik Indonesia.
      3. Pemusnahan arsip yang sudah tidak bernilai guna

        Pelaksanaan pemusnahan arsip dapat dilakukan secara terpusat di kantor arsip daerah atau dilakukan oleh masing-masing instansi/lembaga/kantor/organisasi, yaitu untuk arsip inaktif yang retensinya di bawah 10 tahun.

    2. Penyusutan arsip berdasarkan asal usul atau pencipta arsip, yaitu arsip-arsip yang diterima dan diciptakan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi masing-masing instansi/lembaga/kantor/organisasi.
    3. Arsip-arsip titipan dari badan swasta atau perorangan tidak dilakukan penyusutan, dengan maksud melindungi arsip-arsip tersebut dari kemungkinan kerusakan, kehilangan maupun penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak berhak.
  3. Jadwal Retensi
    1. Maksud diterbitkannya jadwal/daftar retensi ini antara lain untuk:
      1. Memberi pedoman tentang lamanya penyimpanan arsip pada unit pengolah, pada unit kearsipan dan arsip-arsip yang dapat dimusnahkan serta diserahkan arsip nasional;
      2. Memisahkan penyimpanan arsip aktif dengan inaktif sehingga mempermudah pengawasan dan penemuan kembali arsip yang diperlukan;
      3. Melancarkan kegiatan penyusutan arsip yang mengacu ke arah efisiensi pengelolaan kearsipan berkaitan dengan pertimbangan keterbatasan sarana, prasarana, tenaga, dan biaya;
      4. Meningkatkan bobot dan kualitas arsip-arsip yang disimpan kendati dalam jumlah yang sedikit.
    2. Tujuan dari diterbitkannya jadwal daftar retensi adalah:
      1. Terwujudnya kepastian dan ketertiban serta keakuratan penyusutan arsip guna menghindari terjadinya pemusnahan arsip yang mengandung informasi penting untuk keperluan pertanggungjawaban maupun pembuktian.
      2. Pengelola arsip dan unsur terkait akan memperoleh keleluasaan untuk melakukan penafsiran dikarenakan sifat jadwal retensi arsip yang tidak mutlak. Penafsiran dapat secara terkoordinasi dan terpadu sejalan dengan dinamikan penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan atau instansi/lembaga/kantor/organisasi dalam arti luas.
    3. Cara penetapan jadwal retensi

      Jadwal retensi merupakan pedoman melaksanakan penyusutan arsip yang sejak semula telah diperhitungkan aspek nilai guna setiap masalah arsip yang bertalian. Penilaian arsip berdasarkan atas:

      1. Tujuan kearsipan yang tersirat pada pasal 3 UU No. 7 Tahun 1971, yaitu terjaminnya keselamatan bahan pertanggungjawaban dan tersedianya bahan pertanggungjawaban tersebut apabila diperlukan pada masa sekarang dan pada masa yang akan datang;
      2. Jadwal retensi;
      3. Nilai arsip yang bertalian, bagi kepentingan pemerintah, badan swasta dan masyarakat;
      4. Peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan arsip yang dinilai;
      5. Kaitan arsip yang bertalian dengan arsip lainnya yang masih bernilai guna;
      6. Pengalaman para pejabat atau pendapat dari instansi/lembaga/kantor/organisasi terkait;
      7. Pendapat ilmuwan.
    4. Nilai guna arsip
      1. Nilai guna primer

        adalah nilai guna arsip bagi kepentingan instansi/lembaga/kantor/organisasi penciptanya, dalam rangka pelaksanaan fungsi-fungsinya pada masa kini maupun pada masa yang akan datang. Nilai guna primer meliputi:

        1. Nilai guna administrasi
          1. Nilai guna administrasi dapat diartikan sebagai kebijakan dan prosedur yang diperlukan guna penyelesaian kegiatan organisasi. Arsip memiliki nilai guna administrasi apabila arsip yang bertalian dapat membantu organisasi untuk melaksanakan kegiatan yang sedang berlangsung.
          2. Suatu arsip dinyatakan tidak lagi memiliki nilai guna administrasi apabila:
            1. Arsip tersebut selesai perannya dalam menunjang pelaksanaan administrasi;
            2. Tujuan telah tercapai;
            3. Masalah telah dapat diselesaikan; dan
            4. Arsip yang disimpan hanya bersifat preventif, yaitu untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya kesalahan administrasi.
        2. Nilai guna hukum
          1. Arsip yang mempunyai nilai guna hukum apabila berisikan bukti-bukti yang mempunyai kekuatan hukum; baik berupa hak dan kewajiban warga negara maupun pemerintah.
          2. Contoh: arsip hasil proses pengadilan, keputusan, ketetapan perjanjian dan lain sebagainya.
          3. Berakhirnya nilai guna hukum apabila:
            1. Tindakan-tindakan hukum telah dilengkapi/diselesaikan;
            2. Tujuan utama telah dicapai;
            3. Hak-hak organisasi telah terlindungi;
            4. Hak-hak individu yang terlibat terlindungi;
            5. Kewajiban yang timbul sebagai akibat dari suatu kebijakan atau kegiatan telah terpenuhi;
            6. Tidak diperlukan lagi untuk keperluan pembuktian pada masa datang; dan
            7. Produk hukum, misal UU Surat Keputusan Gubernur, telah digantikan oleh produk hukum serupa yang umurnya lebih muda.
        3. Nilai guna keuangan
          1. Arsip yang memiliki nilai guna keuangan adalah arsip yang informasinya menggambarkan tentang bagaimana uang diperoleh, dibagikan, diawasi, dan dibelanjakan. Dengan kata lain, nilai guna keuangan berkaitan dengan kebijakan keuangan, transaksi, dan pertanggungjawaban.
          2. Arsip-arsip yang mempunyai nilai guna keuangan antara lain peraturan daerah tentang pendapatan daerah, APBN, pertanggungjawaban keuangan, laporan pemeriksaan keuangan, dsb.
          3. Nilai guna keuangan akan berakhir apabila:
            1. Kepentingan pengawasan dan pemeriksaan telah terpenuhi;
            2. Tujuan utama telah tercapai;
            3. Hak-hak organisasi dalam kaitannya dengan transaksi keuangan telah terlindungi;
            4. Transaksi keuangan telah selesai dilaksanakan, tanpa adanya klaim dari salah satu pihak;
            5. Kewajiban yang timbul sebagai akibat dari suatu transaksi keuangan telah terpenuhi; dan
            6. Tidak diperlukan lagi untuk keperluan pembuktian pada masa datang.
        4. Nilai guna ilmiah
          1. Arsip yang bernilai guna ilmiah dan teknologi mengandung data ilmiah dan teknologi sebagai akibat dari hasil penelitian murni atau penelitian terapan.
          2. Arsip jenis ini menyediakan data bagi para peneliti, apabila hasil penelitian tersebut tidak segera dipublikasikan dalam waktu yang relatif lama, maka arsip tersebut mempunyai masa simpan/retensi yang relatif lama pula.
        5. Nilai guna perorangan
          1. Nilai guna perorangan dapat diartikan sebagai arsip yang bertalian yang mengandung informasi mengenai seseorang.
          2. Arsip yang bernilai guna perorangan jangka waktunya cukup lama, bahkan sebagian di antaranya dinyatakan sebagai arsip permanen. Dengan kata lain mempunyai masa waktu penyimpanan yang tidak terbatas dan tidak boleh dimusnahkan.
          3. Contoh: akta kelahiran, surat kawin, surat adopsi;surat kematian; surat silsilah keluarga, dsb.
      2. Nilai guna sekunder

        adalah nilai arsip sesuai kegunaan arsip berdasarkan kepentingan lembaga/instansi/organisasi lain atau kepentingan umum di luar lembaga/instansi/organisasi pencipta arsip. Nilai guna sekunder meliputi:

        1. Nilai guna kebuktian (evidential value)
          1. Nilai guna kebuktian dapat diartikan sebagai arsip yang mengandung kebenaran yang menjelaskan tentang bukti-bukti keberadaan suatu organisasi beserta fungsi-fungsinya.
          2. Arsip jenis ini memberikan penjelasan tentang aspek-aspek penting suatu organasasi, seperti asal-usul suatu organisasi; perubahan beserta perkembangannya; peranan administrasinya dan peranan operasionalnya; kebijakan; fungsi-fungsi; prosedur; dan aktivitas lainnya.
          3. Semua arsip yang memiliki nilai guna kebuktian harus disimpan secara permanen.
        2. Nilai guna informasional
          1. Nilai guna informasional adalah nilai guna yang berkaitan dengan informasi yang terkandung dalam arsip.
          2. Nilai guna informasi antara lain tentang:
            1. Orang dan badan usaha
              1. Arsip yang memberikan informasi tentang orang, tidak banyak memiliki nilai penelitian kecuali berkaitan dengan orang-orang penting, baik yang bertalian dengan pemerintah maupun kehidupan kemasyarakatan lainnya.
              2. Arsip yang memberikan informasi mengenai badan usaha.
            2. Benda, adalah nilai informasi tentang benda berkaitan dengan bangunan bersejarah, kapal perang, hak cipta dan hak paten.
            3. Tempat, adalah informasi kartografi tempat berkaitan dengan tempat-tempat khusus, baik pada tingkat daerah seperti pedesaan maupun negara atau unit-unit geografi lainnya, serta arsip yang memberikan keterangan mengenai karakter geografis suatu tempat dan sekitarnya atau hubungan antara budaya dengan lingkungannya.
            4. Gejala (fenomenal), adalah arsip yang mengandung informasi mengenai gejala atau fenomena yang menggambarkan kondisi-kondisi, aktivitas, peristiwa, situasi, dan lain sebagainya.
    5. Cara menghitung jadwal retensi

      Beberapa contoh cara menghitung retensi arsip, antara lain:

      1. Arsip Penetapan Peraturan Negara (Undang-undang) atau Perda dihitung sejak diundangkan dalam Lembaran Negara atau Lembaran Daerah;
      2. Arsip Penetapan Keputusan dan surat keputusan dihitung sejak surat keputusan tersebut dikeluarkan, dilihat dari tanggal terbit;
      3. Arsip surat keputusan yang bersifat operasional, surat edaran, instruksi dan surat keputusan, di lingkungan pemerintah daerah yang tidak perlu diundangkan dalam Lembaran Daerah, dihitung sejak selesai didistribusikan;
      4. Arsip pembangunan gedung dihitung sejak peresmian gedung;
      5. Arsip pemeliharaan gedung, renovasi, dan sejenisnya dihitung setelah timbang terima dan masa pemeliharaan. Perizinan dihitung mulai dicabutnya perizinan tersebut;
      6. Arsip sewa-menyewa dihitung setelah perjanjian sewa-menyewa tersebut berakhir dan tidak diperpanjang lagi;
      7. Arsip tukar-menukar dihitung setelah akte tukar-menukar selesai dibuat;
      8. Arsip penyelesaian sengketa dihitung setelah adanya keputusan eksekusi dari pengadilan dan tidak ada keberatan atau pengajuan naik banding;
      9. Arsip daftar alamat dihitung sejak adanya daftar alamat baru;
      10. Arsip laporan dihitung sejak laporan tersebut diterima dan tidak dipermasalahkan lagi;
      11. Arsip penghargaan, dihitung mulai dari pemberian penghargaan itu;
      12. Arsip tender/pelelangan dihitung setelah penetapan pemenang dan tidak ada pengajuan keberatan; dan
      13. Dsb.
    6. Pengendalian pelaksanaan retensi arsip
      1. Untuk menghindari makin bertambahnya arsip/berkas yang belum terkelola, kepala unit kearsipan instansi/lembaga/organisasi dapat melakukan pengendalian kegiatan penyusutan arsip pada setiap instansi/lembaga/organisasinya.
      2. Dalam rangka pengendalian pelaksanaan retensi arsip, setiap kepala unit kearsipan dapat melakukan kegiatan seperti:
        1. Menerima pemindahan arsip dari unit pengolah yang berdasarkan jadwal retensi arsip termasuk kategori arsip dinamis inaktif;
        2. Memberitahukan kepada unit pengolah, disertai daftar berkas yang telah melampaui waktu retensi, bila unit pengolah tidak melaksanakan kegiatan pemindahan arsip/warrkat/berkas yang telah dikategorikan sebagai arsip dinamis inaktif;
        3. Memberikan teguran kepada unit pengolah apabila arsip dinamis inaktif belum juga dipindahkan kepada unit kearsipan; dan
        4. Memberikan izin kepada unit pengolah untuk memperpanjang retensi arsip sesuai dengan surat pemohonan perpanjangan retensi.
  4. Prosedur Penyusutan Arsip
    1. Penyusutan arsip menganut asas sentralisasi dalam kebijakan dan desentralisasi dalam pelaksanaan. Melalui asas tersebut dimungkinkan adanya penyusutan arsip yang dilaksanakan secara terpusat, namun tidak menutup kemungkinan dilakukan di daerah/kantor cabang.
    2. Dengan adanya azas ini dapat dipetik beberapa manfaat pelaksanaan penyusutan, yakni:
      1. Adanya keseragaman persepsi terhadap jenis dan lamanya masa simpan arsip yang akan disusutkan baik di pusat maupun di daerah.
      2. Untuk menjaga kehati-hatian terhadap pelaksanaan penyusutan arsip, sangat diperlukan adanya koordinasi dengan badan-badan atau lembaga-lembaga yang berkaitan, yang tempat kedudukannya di pusat, seperti BEPEKA, Arsip Nasional, BKN dan kementerian yang terkait.
      3. Menghemat biaya pengiriman arsip-arsip yang akan dimusnahkan.
    3. Pelaksanaan penyusutan arsip
      1. Pemindahan arsip inaktif dari unit pengolah kepada unit kearsipan instansi/lembaga/organisasi terkait
      2. Kegiatannya meliputi:
        1. Penyeleksian arsip inaktif oleh unit pengolah;
        2. Pengelompokan arsip tersebut secara lengkap dalam bentuk seri, rubrik, atau dosier;
        3. Pembuatan daftar pertelaan; dan
        4. Pelaksanaan pemindahan arsip dinamis inaktif kepada unit kearsipan, disertai dengan berita acara pemindahannya dalam daftar pertelaan.
    4. Penyerahan arsip inaktif dari unit kearsipan instansi/lembaga/ organisasi kepada kantor arsip nasional/daerah
      1. Penyerahan arsip ini dikhususkan bagi arsip-arsip yang mempunyai jadwal retensi 10 tahun lebih atau kurang dari 10 tahun tetapi menurut jadwal retensi harus disimpan permanen, atau arsip yang berdasarkan penilaian harus diperpanjang penyimpanannya.
      2. Pemindahan arsip dari unit kearsipan ke kantor arsip nasional/daerah dilaksanakan sekurang-kurangnya dua tahun sekali atas izin dari pimpinan instansi/lembaga/organisasi yang bertalian.
      3. Kegiatan penyerahan arsip inaktif pada unit kearsipan antara lain:
        1. Pengecekan arsip-arsip yang dipindahkan oleh unit pengolah, disesuaikan dengandaftar pertelaan;
        2. Pengecekan kelengkapan berkas dan penyempurnaan penyusunan bentuk, seri, rubrik atau dosier;
        3. Membuat daftar pertelaan sekaligus dengan deskripsi/gambaran arsipnya secara lengkap;
        4. Melakukan penyampulan pada arsip-arsip yang masa simpannya lebih dari tiga tahun;
        5. Melakukan perawatan/pemeliharaan arsip-arsip tersebut selama beada pada unit kearsipan;
        6. Setiap dua tahun melakukan penyeleksian arsip inaktif yang akan dipindahkan ke kantor arsip nasional/daerah;
        7. Rencana pemindahan arsip inaktif ini terlebih dahulu dikonsultasikan dan dikoordinasikan dengan kantor nasional/daerah.
    5. Penyerahan arsip statis dari kantor arsip daerah ke kantor arsip nasional RI
      1. Jenis-jenis arsip statis yang diserahkan:
        1. Arsip yang tercantum dalam jadwal retensi arsip sebagai arsip yang harus disimpan permanen;
        2. Arsip-arsip yang dalam jadwal retensi arsip tergolong sebagai arsip yang harus dinilai kembali berdasarkan pertimbangan panitia penilai arsip dan mendapat persetujuan gubernur, harus disimpan permanen; dan
        3. Formulir yang digunakan untuk kegiatan penyerahan arsip statis.
      2. Beberapa ciri arsip yang dapat dipertimbangkan untuk disimpan sebagai arsip statis ialah arsip yang mengandung:
        1. Sejarah;
        2. Pembuktian dan pertanggungjawaban nasional;
        3. Bukti tentang orang, lembaga, benda dan gejala yang punya ruang lingkup nasional;
        4. Informasinya bermanfaat secara nasional;
        5. Informasinya mencerminkan identitas dan kebudayaan bangsa; dan
        6. Hasil-hasil penelitian yang bermanfaat bagi kepentingan para ilmuwan, pemerintah dan masyarakat.
      3. Langkah-langkah kegiatan yang ditempuh dalam proses penyerahan arsip statis:
        1. Penilaian arsip inaktif yang sudah melampaui batas penyimpanannya oleh panitia penilaian dan pemusnahan arsip;
        2. Konsultasi ke departemen dalam negeri dan arsip nasional Republik Indonesia mengenai arsip-arsip permanen yang akan diserahkan sebagai arsip berdasarkan hasil rapat panitia penilaian arsip;
        3. Permohonan persetujuan kepada gubernur tentang arsip statis yang akan diserahkan; dan
        4. Pelaksanaan penyerahan arsip statis oleh gubernur, dihadiri oleh instansi terkait.
    6. Pemusnahan arsip
      1. Arsip-arsip yang dimusnahkan ialah arsip-arsip yang sudah secara tegas dan rinci ditetapkan dalam Surat Keputusan Gubernur sebagai arsip yang sudah tidak bernilai guna.
      2. Proses penetapannya menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
        1. Penilaian arsip inaktif yang sudah melampaui batas waktu penyimpanannya oleh panitia penilai dan pemusnah arsip;
        2. Konsultasi pada departemen dalam negeri dan arsip nasional Republik Indonesia khusus bagi arsip-arsip inaktif yang retensinya 10 tahun atau lebih;
        3. Penetapan arsip-arsip yang akan dimusnahkan dalam surat keputusan gubernur dengan berlandaskan kepada pendapat instansi pusat;
        4. Pelaksanaan pemusnahan arsip.
  5. Tata Cara Penilaian Arsip yang Akan Dimusnahkan dan Diserahkan Ke Arsip Nasional Republik Indonesia
    1. Persiapan penilaian
      1. Penyeleksian arsip yang sudah berakhir masa penyimpanannya dan selanjutnya memisahkan arsip yang sudah diseleksi, agar mudah melakukan pengecekan;
      2. Pembuatan daftar pertelaan arsip sebagai hasil penyeleksian, dilengkapi retensi arsip masing-masing dan data lain yang dipandang perlu sebagai bahan rapat panitia penilai dan pemusnah arsip;
      3. Koordinasi dan konsultasi dengan unit kerja dan instansi terkait;
      4. Penyiapan penyelenggaraan rapat panitia penilai dan pemusnah arsip.
    2. Pelaksanaan penilaian arsip
      1. Penilaian arsip dilakukan oleh panitia dan pemusnah arsip bersama instansi terkait terhadap arsip-arsip yang sudah melampaui masa penyimpanannya. Penilaian dilakukan secara berjenjang yaitu:
        1. Penilaian di lingkungan instansi dan selanjutnya hasil penilaian tersebut disampaikan kepada panitia penilai dan pemusnah arsip tingkat propinsi disertai usul dan pertimbangan penyusutannya;
        2. Panitia penilaian dan pemusnah arsip propinsi menugaskan sekretariat panitia penilai arsip untuk mengkaji ulang arsip yang diusulkan penyusutannya. Apabila diperlukan, sekretariat dapat melakukan pengecekan kepada depo arsip instansi yang bersangkutan dan berkonsultasi kepada instansi terkait baik di tingkat pusat maupun daerah;
        3. Pembahasan dan pelaksanaan penilaian arsip oleh panitia penilaian dan pemusnah arsip bersama-sama instansi yang ada kaitannya dengan arsip-arsip yang dinilai;
        4. Penyampaian laporan kepada gubernur, sekaligus dilengkapi permohonan persetujuan serta penetapan mengenai arsip-arsip yang akan dimusnahkan atau diserahkan kepada arsip nasional Republik Indonesia.
      2. Tim penilai dan pemusnah arsip ditetapkan oleh gubernur.
    3. Langkah-langkah pemusnahan arsip
      1. Pelaksanaan pemusnahan di unit kearsipan instansi
        1. Pemusnahan nonarsip, duplikasi, dan barang kuasi
          1. Menyeleksi nonarsip, duplikasi dan barang kuasi yang akan dimusnahkan;
          2. Membuat daftar pertelaan nonarsip, duplikasi dan barang kuasi yang akan dimusnahkan;
          3. Konsultasi dan permintaan oleh Itwil, khusus arsip-arsip barang kuasi;
          4. Konsultasi dan meminta persetujuan kepada tim penilaian dan pemusnah arsip propinsi melalui kantor arsip daerah propinsi;
          5. Membuat keputusan panitia penilai dan pemusnah arsip tentang pengesahan pemusnahan nonarsip, duplikasi dan barang kuasi dilampiri berita acara pemusnahan dan daftar pertelaan yang dimusnahkan;
          6. Memberikan laporan pelaksanaan pemusnahan kepada kantor arsip daerah, dilengkapi dengan keputusan panitia penilai dan pemusnah arsip yang dilampiri berita acara pemusnah dan daftar pertelaan yang dimusnahkan;
        2. Pemusnahan arsip yang retensinya kurang dari 10 tahun
          1. Menyeleksi arsip-arsip yang retensinya sudah berakhir;
          2. Membuat daftar pertelaan arsip yang akan diusulkan pemusnahannya;
          3. Pembahasan oleh panitia penilai dan pemusnah arsip instansi;
          4. Konsultasi dan meminta persetujuan kepada panitia penilai dan pemusnah arsip propinsi melalui kantor arsip daerah propinsi;
          5. Dibuatkan keputusan gubernur tentang pengesahan pemusnahan arsip di instansi yang bersangkutan, dilampiri berita acara pemusnahan dan daftar pertelaan arsip yang dimusnahkan;
          6. Pelaksanaan pemusnahan dengan disaksikan oleh panitia penilai dan pemusnah arsip dan pejabat yang ditunjuk dari kantor arsip daerah propinsi;
          7. Memberikan laporan pelaksanaan pemusnahan kepada kantor arsip daerah, dilengkapi dengan keputusan gubernur tentang pelaksanaan pemusnahan arsip yang dilampiri dengan berita acara pemusnahan dan daftar pertelaan arsip yang dimusnahkan;
      2. Pelaksanaan pemusnahan arsip di kantor arsip daerah
        1. Menyeleksi arsip-arsip yang retensinya sudah berakhir;
        2. Membuat daftar pertelaan arsip yang akan diusulkan pemusnahannya;
        3. Pembahasan oleh panitia penilai dan pemusnah arsip propinsi;
        4. Konsultasi dan koordinasi ke departemen dalam negeri dan arsip nasional Republik Indonesia, khusus untuk arsip-arsip keuangan terlebih dulu harus konsultasi ke BEPEKA dan BAKN untuk arsip-arsip kepegawaian;
        5. Dibuatkan keputusan gubernur tentang pengesahan pemusnahan arsip yang akan dimusnahkan dengan berita acara pemusnahan dan daftar pertelaan arsip yang akan dimusnahkan;
        6. Pelaksanaan pemusnahan, disaksikan oleh panitia penilai dan pemusnah arsip, bilamana perlu dapat disaksikan oleh pejabat dan Itwilprop, Sospol, Kejaksaan dan aparat keamanan;
        7. Membuat laporan pelaksanaan pemusnahan arsip ke departemen dalam negeri dan arsip nasional Republik Indonesia dilengkapi dengan keputusan gubernur yang dilampiri dengan berita acara pemusnahan dan daftar pertelaan arsip yang dimusnahkan.
    4. Cara pemusnahan arsip
      1. Pemusnahan arsip harus total, artinya bahwa fisik arsip dan informasi yang terkandung di dalamnya tidak bisa dikenali lagi.
      2. Ada beberapa cara pemusnahan yang baik, antara lain dengan cara dibakarl dicercah, atau menggunakan cairan kimia.


         

*******