Jumat, 19 Agustus 2011

Subyek Hukum Perdata


Pengertian hukum pribadi secara luas dapat dibagi 2, yaitu hukum perorangan dan hukum kekeluargaan. Hukum perorangan adalah keseluruhan kaedah hukum yang mengatur kedudukan sebagai subyek hukum dan wewenang untuk memperoleh, memiliki, dan mempergunakan hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum serta kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya, juga mempengaruhi kedudukan subyek hukum. Sedangkan hukum kekeluargaan ialah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan. Sedangkan secara sempit, hukum pribadi merupakan hukum yang mengatur orang sebagai subyek hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum pribadi merupakan kaedah hukum yang mengatur kedudukan hukum (status seseorang) berkaitan dengan wewenang hukum dan kecakapan bertindak dalam lalu lintas hukum.
A.    Subyek hukum pribadi menurut hukum adat dan hukum perdata barat
Hukum perorangan/pribadi (personenrecht) dalam arti luas adalah ketentuan-ketentuan mengenai orang sebagai subyek hukum dan kekeluargaan. Dalam arti sempit hukum pribadi memiliki makna yaitu ketentuan-ketentuan orang sebagai subjek hukum saja. Menurut hukum bahwa setiap manusia itu merupakan orang, yang berarti pembawa hak yaitu segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban (pendukung hak dan kewajiban) dan disebut subjek hukum. Apabila dikatakan bahwa setiap manusia merupakan orang, maka berarti:
1.      Bahwa tidak dikenal perbedaan berdasarkan agama, baik manusia itu beragama Islam, Kristen maupun agama lain, mereka semua merupakan orang.
2.      Bahwa antara kelamin yang satu dengan yang lainnya, tidak diadakan pembedaan, jadi baik wanita maupun pria merupakan orang.
3.      Bahwa tidak diadakan pembedaan antara orang kaya dan miskin, semua dinggap sebagai orang.
4.      Bahwa tidak dibedakan apakah manusia itu warga negara atau orang asing, jadi kalau semua hukum perdata barat ini berlaku bagi orang asing, maka ia dinggap orang.
Sebelumnya di dalam Buku I BW disebut subjek hukum hanya orang (pribadi kodrati) tidak termasuk badan hukum, namun selanjutnya dalam perkembangan selanjutnya, badan hukum telah dimasukan sebagai subjek hukum yang disebut dengan Pribadi Hukum. Badan Hukum tidak tercantum di dalam Buku I BW karena orang mempelajari masalah badan hukum, setelah kodifikasi BW dibuat dengan demikian badan hukum dapat dimasukkan ke dalam golongan subjek hukum, dengan demikian subjek hukum terdiri dari :
1.      Orang /Pribadi Kodrati (natuurlijke persoon)
2.      Badan Hukum/Pribadi Hukum (rechs tpersoon)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subyek hukum yaitu setiap penyandang/pendukung hak dan kewajiban, artinya undang-undang memberi wewenang untuk memiliki, memperoleh dan menggunakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban didalam lalu lintas hukum. Sedangkan menurut Algra, subjek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban, jadi mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid).
1.      Orang /Pribadi Kodrati (natuurlijke persoon)
Orang sebagai subjek hukum adalah mulai sejak dilahirkan hidup sampai meninggal dunia, terdapat perluasan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 2 KUHPerdata yang menyatakan “bayi” yang berada dalam kandungan ibunya dianggap telah dilahirkan hidup, jika ada kepentingan si anak (bayi) yang menghendakinya. Namun apabila mati sewaktu dilahirkan dianggap tidak pernah ada (pengertian subjek hukum diperluas). Sedangkan Chaidir Ali, mengartikan manusia adalah mahkluk yang berwujud dan rohani, yang berfikir dan berasa, yang berbuat dan menilai, berpengetahuan dan berwatak, sehingga menempatkan dirinya berbeda dengan makhluk lainnya. Pasal 2 KUHPerdata tersebut berlaku apabila memenuhi syarat-syarat:
a.       Si anak dibenihkan pada saat adanya kepentingan si anak timbul.
b.      Si anak harus hidup pada saat dilahirkan, arti hidup bahwa anak itu bernafas.
c.       Adanya kepentingan si anak yang menhendaki bahwa anak itu dianggap telah lahir.
Tujuan ketentuan tersebut oleh pembuat undang-undang adalah melindungi kepentingan masa depan si anak yang masih didalam kandungan ibunya, dimana pada suatu waktu ada kepentingan anak yang timbul dan kemudian anak itu dilahirkan hidup.
2.      Badan Hukum/Pribadi Hukum (rechtpersoon)
yaitu orang dalam bentuk badan hukum/merupakan pribadi ciptaan hukum. Adanya Pribadi Hukum tersebut, setidak-tidaknya dapat dikembalikan pada sebab-sebab sebagai berikut:
                                            i.            Adanya suatu kebutuhan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu atas dasar kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama.
                                          ii.            Adanya tujuan-tujuan ideal yang perlu dicapai tanpa senantiasa tergantung pada pribadi-pribadi kodrati secara perorangan.
Sedangkan badan hukum dibedakan pula dalam 2 (dua) macam yaitu:
                                              i.            Badan hukum Publik yang sifatnya terlihat unsur kepentingan public yang ditangani oleh Negara.
                                            ii.            Badan hukum Privat yang sifatnya unsur-unsur kepentingan individual dalam badan swasta.
Subyek hukum dalam hukum Adat: manusia dan badan hukum (badan hukum yang ada antara lain desa, suku nagari, wakaf, yayasan, dll)
B.     Kedudukan orang (pribadi) di dalam hukum
C.    Kriteria dewasa menurut hukum adat dan hukum perdata barat
Kriteria dewasa menurut hukum adat dari beberapa ahli:                              
1.      Ter Haar: seseorang yang telah tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tua.
2.      Prof. Djoyodiguno: kedewasaan datang secara berangsur. Dewasa penuh jika sudah ‘mentas’ dan ‘mencar’ (hidup mandiri dan berkeluarga sendiri)
3.      Prof. Soepomo, dianggap dewasa apabila,
a.       Kuwat gawe’ (dapat/mampu bekerja sendiri).
b.      Cakap mengurus harta benda serta keperluannya sendiri
c.       Bertanggung jawab atas    segala perbuatannya.
Sedangkan criteria dewasa menurut hukum perdata barat ada beberapa macam, yaitu:
1.      KUHPerdata, dianggap dewasa apabila telah berusia 21 tahun atau sudah menikah (Pasal 330 (1))
2.      UU No. 1/1974 Pasal 47 & 50, yaitu bagi anak yang sudah berumur 18 tahun atau lebih dan sudah tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.
Selain itu ada juga handlichting atau pendewasaan, yaitu suatu lembaga hukum agar semua orang yang belum dewasa tetapi telah menempuh syarat-syarat tertentu dalam hal tertentu dan sampai batas-batas tertentu menurut ketentuan undang-undang dapat memiliki kedudukan hukum yang sama dengan orang dewasa. Handlichting ada 2 macam, yaitu:
1.      Pendewasaan penuh (pasal 421)
Harus mempunyai venia aetatis (surat pernyataan sudah cukup umur) dengan umur minimal 20 tahun dan mengajukan permohonan kepada presiden RI
2.      Pendewasaan terbatas (pasal 426-431)
Syaratnya minimal berusia 18 tahun dan orang tuanya (wali) tidak keberatan. Kemudian diajukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Pendewasaan terbatas dapat ditarik kembali, misalkan untuk membuat surat wasiat.
D.    Kecakapan bertindak sebagai subyek hukum pribadi
Cakap hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan hukum (kecakapan bertindak) meliputi  orang-orang baik pria maupun wanita yang sudah dewasa. Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi) Jakarta dalam keputusannya tertanggal 16 Oktober 1908 menetapkan khusus bagi kaum wanita untuk dapat dianggap “cakap menyatakan kehendaknya sendiri” sebagai berikut :
            1.  Umur 15 tahun
            2.  Masak untuk hidup sebagai isteri
            3.  Cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatan sendiri
Keputusan Raad van Justitie tersebut di atas menunjukkan adanya pemakaian dua macam kriteria yang tergabung menjadi satu, yakni kriteria barat yaitu umur dan kriteria adat yaitu kenyataan ciri-ciri tertentu.
Walaupun setiap orang adalah subjek hukum namun tidaklah setiap orang dapat melakukan perbuatan hukum/tidak cakap hukum. Menurut pasal 1330 BW ada beberapa golongan orang yang oleh hukum dianggap tidak cakap dalam arti hukum, yakni:
1.      Orang-orang belum dewasa (dibawah umur).
2.      Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele)
E.     Kewenangan berhak dan bertindak menurut hukum
Menurut B. Ter Haar Bzn, seseorang dikatakan telah cakap melakukan sikap tindak hukum apabila ia telah dewasa. Dewasa, artinya keadaan berhenti sebagai anak yang tergantung kepada orang tua. Juga sudah memisahkan diri dari orang tua dan mempunyai rumah sendiri, termasuk dalam penggantian dewasa. Sedangkan menurut Soepomo, seseorang dianggap dewasa, bila orang tersebut sudah mampu bekerja secara mandiri, cakap mengurus harta benda dan kepentingan-kepentingannya sendiri, cakap melakukan pergaulan hidup kemasyarakatan, Serta termasuk didalamnya mampu mempertanggungjawabkan setiap tindakannya.
Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, seseorang dikatakan belum cakap dalam bertindak menurut hukum apabila ia:
1.      Belum dewasa
2.      Wanita bersuami
Dengan adanya pasal 31 (2) UU No. 1/1974 maka dianggap cakap; keseimbangan kedudukan laki-laki dan perempuan serta masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Kecuali, perbuatan hukum yang berkaitan dengan penggunaan dan pengalihannya harus mendapat persetujuan kedua belah pihak.
3.      Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.
Pengampuan adalah orang dewasa yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Menurut pasal 433 KUHPerdata, orang yang berhak meminta pengampuan yaitu:
a.       Imbisil (tolol, dungu, bodoh)
b.      Lemah daya/lemah pikir
c.       Sakit otak/sakit ingatan atau mata gelap
d.      Pemboros (masih dapat membuat testament melalui perkawinan dan pembuat janji kawin)

DAFTAR PUSTAKA


http://repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/1636.pdf
http://www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aspek_hukum_dalam_bisnis/bab2-hukum_perdata.pdf
http://suflasaint.blogspot.com/2010/09/hukum-perorangan-personenrecht.html
http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=4&ved=0CCcQFjAD&url=http%3A%2F%2Fperumtel.files.wordpress.com%2F2010%2F10%2F7-hukum-perorangan.ppt&ei=UAlnTZC8OoLlrAeTg-DaCg&usg=AFQjCNEWBjnz_w65-xcdpm6Fm2wXWijKpw
http://irdanuraprida.blogspot.com/2009/09/subjek-hukum-menurut-hukum-adat.html?zx=d916b83e80597f97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar